Review Buku Novel Everything Everything oleh Nicola Yoon – Seperti biasa, buku ini memang direkomendasikan oleh sahabatku yang memang pecinta buku, ya khususnya romance. Awalnya aku berpikir bahwa aku bisa menyukai buku ini. Memang aku menyukai buku ini pada awalnya, sampai beberapa bagian dalam buku ini yang membuatku bosan dan merasa tidak menyukai buku ini lagi.
For the first time in a long time, I want more than I have.
Wanting just leads to more wanting. There’s no end to desire.
Banyak review review mengenai buku yang positif, dan review dari sahabat saya sendiri pun sangat positif. Saya sangat menantikan buku ini karena banyaknya review positif tersebut, dan cerita pada buku ini ditulis dengan sangat bagus, penulisan yang mudah dimengerti dan karakter yang unik, seperti seorang afro yang bernama Madeline. Madeline adalah seseorang yang memiliki alergi terhadap semua hal di dunia ini kecuali ruangannya yang bersih. Hal ini membuatku berfikir bahwa cerita dalam buku ini akan berakhir seperti layaknya buku The Fault in our stars – ataupun buku seperti All the Bright Places.
Meskipun aku menikmati buku ini pada awalnya, buku ini ternyata lebih kaku daripada yang kukira. Menurutku, buku ini mengajarkan padaku tentang empati terhadap kebutuhan manusia. Karakter utama dalam buku ini, yang bernama Madeline ini menurutku juga terkadang agak egois, namun kerumitan inilah yang membuatku jatuh cinta pada buku ini.
Dan lagi lagi hal yang tidak kusukai dalam sebuah cerita buku muncul kembali di buku ini. Cinta pada pandangan pertama antara Madeline yang mengarahkan pandangannya pada Olly dan seluruh dunia di sekitarnya berubah. Namun hal ini berbeda kali ini, aku malah suka dengan hubungan mereka. Percakapan mereka dengan jarak antar jendela rumah, mengobrol secara online dan berbagi puisi maupun lelucon membuatku geli membaca buku ini.
Awas Spoiler!
Hal yang paling kusukai dalam novel ini adalah ketika Madeline mengetahui bahwa semua penyakit yang dideritanya hanyalah kebohongan belaka! Alamak! Dia sebenarnya tidak benar benar sakit, dan ibunya mengarang ngarang cerita agar dapat melindungi anaknya, dan menyimpan Madeline di dalam kamarnya, setelah suami dan abang dari Madeline meninggal. Saya pikir ibunya Madeline adalah seseorang yang menggalami syndrom Munchausen Proxy, entahlah, saya lupa dengan istilahnya.
Cerita di dalam buku ini seperti opera sabun, karena pengarang buku ini membangun sebuah konsep romance mengenai konsep tentang seseorang yang mengalami penyakit dan tidak diizinkan keluar dari rumah (ide yang bagus menurutku). Dan ketika beberapa kejadian dalam cerita yang membuat konsep itu runtuh, dia seperti mengambil sebuah palu dan menghancurkan semua cerita dan plot nya begitu saja dan membangun sebuah konsep cerita romantis murahan antara 2 remaja normal yang sedang jatuh cinta. Saya pikir semua masalah yang ada telah berakhir, dan, yay! Kita bisa bersama kembali! Konsep ini sangat murahan seakan dipaksakan oleh penulisnya untuk menempelkan sebuah happy ending di dalam cerita novel itu sendiri.
Disamping itu, hal yang membuatku sangat heran dengan alur cerita novel ini adalah BAGAIMANA ibunya bisa melewati 17 / 18 tahun dengan semua ini? Maksudku, ayolah, apakah tidak ada orang yang mempertanyakan penyakit anaknya? Ibunya adalah seorang dokter, ok, dia dapat memalsukan data. Tapi, ayolah, anaknya tidak pernah mendapatkan diagnosa dokter secara resmi! Latar belakang cerita ini terletak di kota California dimana saya cukup yakin ada tetangga tetangga sekitar yang tidak akan membiarkan anak tetangganya dikurung selama 18 tahun dirumah tanpa seorangpun yang bertanya!
Buku ini sebenarnya cukup bagus, namun realita tidak seperti ini jika kita ingin mendiskusikannya. Overall, saya cukup terhibur dengan novel yang satu ini, meskipun saya cukup kecewa dengan ending ceritanya.
-
Admin Rating:
No Comments